Sejarah memberi tahu kita bahwa semua kebebasan itu bersyarat. Pada tahun 1920, Uni Soviet menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan aborsi, sebagai bagian dari komitmen sosialis terhadap kesehatan dan kesejahteraan perempuan. Enam belas tahun kemudian, keputusan tersebut dibatalkan setelah Stalin berkuasa dan menyadari bahwa angka kelahiran menurun.
Tekanan terhadap semua negara untuk mempertahankan tingkat populasinya tidak pernah hilang. Namun pada tahun 2025, krisis demografi ini akan semakin parah—dan korbannya adalah hak-hak gender. Baik di Amerika Serikat maupun Inggris, angka kelahiran bayi telah menurun drastis selama 15 tahun. Di Jepang, Polandia, dan Kanada, tingkat kesuburan sudah turun menjadi 1,3. Di Cina dan Italia, angkanya 1,2. Korea Selatan memiliki angka terendah di dunia, yaitu 0,72. Penelitian yang diterbitkan oleh jurnal medis The Lancet memperkirakan bahwa pada tahun 2100, hampir setiap negara di planet ini tidak akan menghasilkan cukup anak untuk mempertahankan jumlah populasinya.
Hal ini sebagian besar disebabkan karena perempuan memiliki akses yang lebih besar terhadap kontrasepsi, memiliki pendidikan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya, dan mengejar karir yang berarti mereka cenderung menghindari atau menunda memiliki anak. Orang tua berinvestasi lebih banyak pada setiap anak yang mereka miliki. Untungnya, harapan patriarki bahwa perempuan seharusnya tidak lebih dari sekedar pengasuh bayi kini telah runtuh.
Namun dilema awalnya tetap ada: Bagaimana suatu negara dapat menghasilkan lebih banyak anak? Pemerintah telah menanggapinya dengan permohonan dan insentif untuk mendorong keluarga agar bisa berkembang biak. Hongaria telah menghapuskan pajak penghasilan bagi ibu yang berusia di bawah 30 tahun. Pada tahun 2023, pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un terlihat menangis di televisi ketika ia mendesak Konferensi Nasional Ibu untuk mengambil bagian dalam menghentikan penurunan angka kelahiran. Di Italia, Perdana Menteri Giorgia Meloni mendukung kampanye untuk mencapai setidaknya setengah juta kelahiran per tahun pada tahun 2033.
Namun, ketika langkah-langkah ini gagal memberikan dampak yang diharapkan, tekanan terhadap perempuan semakin parah. Gerakan konservatif pro-natalis mempromosikan keluarga inti dengan banyak anak, yang hanya bisa dicapai jika perempuan melahirkan lebih awal. Ideologi ini setidaknya memberikan pengaruh terhadap tindakan keras terhadap akses aborsi di beberapa negara bagian AS. Siapa pun yang berpikir bahwa hak aborsi tidak ada hubungannya dengan masalah populasi harus menyadari bahwa pada musim panas tahun 2024, anggota Senat AS dari Partai Republik juga memilih untuk tidak menjadikan kontrasepsi sebagai hak federal. Pandangan dunia yang sama juga menjadi pemicu meningkatnya reaksi negatif terhadap kelompok minoritas seksual dan gender, yang keberadaannya bagi sebagian orang merupakan ancaman bagi keluarga tradisional. Penganut paham pro-kelahiran yang paling ekstrim juga mencakup penganut supremasi kulit putih dan penganut eugenika.
Semakin besar kekhawatiran suatu negara terhadap angka kelahiran, semakin besar pula risiko terhadap hak-hak gender. Di Tiongkok, misalnya, pemerintah telah mengambil sikap anti-feminis yang tajam dalam beberapa tahun terakhir. Presiden Xi Jinping mengatakan pada pertemuan Federasi Perempuan Seluruh Tiongkok pada tahun 2023 bahwa perempuan harus “secara aktif memupuk budaya baru dalam pernikahan dan melahirkan anak.”
Untuk saat ini, sebagian besar perempuan setidaknya dapat menentukan pilihan mengenai kapan dan apakah mereka akan memiliki anak, serta berapa banyak anak yang akan mereka miliki. Namun seiring dengan turunnya tingkat kesuburan di bawah tingkat penggantian, tidak ada yang tahu seberapa jauh suatu negara dapat berupaya meningkatkan jumlah penduduknya. Tahun 2025 tampaknya menjadi tahun di mana pilihan mereka bisa saja diambil alih.